Monday 8 December 2008

Maryamah Karpov yang Membingungkan


Ada 2 hal yang membuat saya buru-buru membeli Maryamah Karpov, buku ke-4 karya Andrea Hirata. Pertama, pernyataan Andrea di TV One saat peluncuran buku tersebut bahwa bukunya merupakan "literary non fiction". Yang kedua tentang judul buku itu sendiri "Maryamah Karpov mimpi-mimpi lintang".

Setelah membeli dan membolak-balik sebelum melarutkan diri dalam bacaan setebal 504 halaman itu, saya semakin dibuat bingung. Di bagian akhir buku, tepatnya di sampul belakang dalam, sang CEO Bentang Pustaka -penerbit buku-buku Andrea- menuliskan bahwa "Andrea menyajikan sebuah genre yang kami sebut sebagai cultural literary non fiction, yaitu sebuah karya non fiksi yang digarap secara sastra berdasarkan pendekatan budaya." Artinya, penerbit menyatakan bahwa Tetralogi Laskar Pelangi adalah sebuah karya non fiksi. Atau yang selalu diakui Andrea sebagai memoar. Otobiografi. Sementara itu di cover depan, persis di bawah judul Maryamah Karpov, jelas-jelas tertulis SEBUAH NOVEL.

Ah, perdebatan tentang fakta dan fiksi dalam buku-buku Andrea Hirata sebenarnya sudah berita usang. Sejak Laskar Pelangi diluncurkan akhir 2005, buku yang fenomenal dari sisi oplah itu memang menuai banyak kritikan dari para sastrawan. Salah satu diantaranya dari kritikus sastra Jakob Sumardjo "Biografi atau Novel, Fakta atau Fiksi" yang dimuat di Harian KOMPAS, 25 Juni 2007.

Jika Andrea dan penerbit Bentang membaca kritik tersebut, mustinya mereka tak perlu lagi mengklaim Tetralogi Laskar Pelangi sebagai karya non fiksi.

Embel-embel "literary" apalagi "cultural literary" di depan kata non fiction yang ditulis Gangsar Sukrisno, CEO Bentang, dan diucapkan oleh Andrea Hirata saat peluncuran Maryamah Karpov di TV One, saya rasa akan membuat Jakob Sumardjo nggak habis pikir. "Kurang jelas apalagi sih yang saya tulis di KOMPAS beberapa waktu lalu itu?" barangkali seperti itu batinnya.

Literary nonfiction dalam pemahaman saya yang kurang mengerti sastra ini, merupakan cara ungkap atau gaya penulisan yang sastrawi pada sebuah karya non fiksi yang dapat berupa otobiografi atau memoar, laporan jurnalistik, kisah perjalanan atau travelogue, laporan penelitian lapangan, bahkan karya etnografi para antropolog. Karya tulis dibidang ini biasanya memang memungkinkan untuk disajikan dengan lebih nyastra agar memudahkan pembaca untuk larut dalam alur cerita yang dibangun.

Sekedar memberi contoh buku-buku non fiksi yang sastrawi (literary nonfiction) antara lain "Jurnalisme Sastrawi" (KPG, 2002) yang disunting Andreas Harsono dan Budi Setiyono (Pantau). Di buku tersebut terdapat beberapa laporan jurnalistik yang ditulis dengan gaya sastrawi. Saat membaca laporan jurnalistik dalam buku itu kita akan dibawa pada suasana yang tak beda saat membaca novel. Tentunya tidak semua laporan jurnalistik bisa ditulis dengan gaya sastrawi ya. Jurnalisme sastrawi ini sepertinya lebih cocok jika digunakan untuk menulis laporan investigasi atau tulisan feature lain. Di Indonesia, jurnalisme sastrawi ini antara lain bisa dinikmati di Majalah TEMPO.

Di bidang akademis, gaya penulisan literary nonfiction ini dipelopori oleh ilmu-ilmu humaniora, seperti Antropologi. Metode penelitian Etnografi yang dikembangkan dalam ilmu Antropologi menuntut kedekatan antara peneliti/antropolog dengan masyarakat yang menjadi subyek penelitiannya. Dalam penulisan karya etnografi juga terdapat sejumlah gaya penulisan, antara lain life history. Seperti yang terdapat dalam buku "Kisah Lima Keluarga" (Yayasan Obor, 1988) yang merupakan terjemahan dari "Five Families" karya antropolog Oscar Lewis. Dengan gaya penulisan yang bak novel, menggambarkan kehidupan 5 keluarga miskin di Meksiko, Lewis menelaah tentang kebudayaan dan kemiskinan di Meksiko.

Namun, meskipun nyastra, karya-karya tersebut tetaplah non fiksi yang harus dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Fakta, fakta, fakta, dan fakta...! Karya non fiksi hanya sah jika tetap berada dalam ranah fakta. Sementara karya fiksi, yang meskipun terdapat beberapa penggalan kisah yang berdasarkan pengalaman nyata penulisnya, namun tidak bisa begitu saja dianggap sebagai karya non fiksi.

Lain halnya jika klaim karya non-fiksi dalam Tetralogi Laskar Pelangi dimaksudkan sebagai salah satu strategi marketing yang dilakukan penerbit dan penulis untuk mendongkrak penjualan. Kalau sudah berurusan dengan promosi penjualan yang seringkali memang harus "menjual mitos", ya apa boleh buat. Dalam bisnis, itu sah-sah saja kok. Bukankah penerbitan adalah dunia industri?


Judul-judulan

Jauh sebelum buku ke-4 ini terbit, disain sampul buku ini sudah tercetak ratusan ribu lembar karena tertera dalam 3 buku Andrea sebelumnya (Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor). Andrea sendiri dalam setiap kesempatan, saat tampil di depan publik maupun diwawancarai media, juga menyampaikan bahwa buku ke-4 akan diberi judul Maryamah Karpov. Siapakah Maryamah Karpov itu? dan Andrea akan menjawabnya, "bacalah di buku ke-4 saya." Katanya buku itu berkisah tentang wanita, termasuk tentang A Ling tokoh fiktif (menurut saya) yang digilainya.

Mungkin hampir 2 tahun promosi tentang Maryamah Karpov itu digencarkan, sehingga membuat para penggemar fanatiknya maupun orang yang penasaran karena keanehannya jadi nggak sabar menanti buku itu diterbitkan. Konon, Maryamah Karpov direncanakan terbit 10 bulan setelah penerbitan buku ke-3, Edensor, atau sekitar Maret 2008. Tapi, barangkali karena sudah terjadi kesepakan dengan pihak Miles Film untuk film Laskar Pelangi, pada bulan April 2008 pihak Renjana Oraganizer sebagai managemen Andrea Hirata membuat pengumuman bahwa Maryamah Karpov akan diterbitkan sekitar September 2008. Pemberitahuan itu segera diralat setelah pada bulan September 2008 yang meluncur ternyata film Laskar Pelangi, bukan Maryamah Karpov. Pada pertengahan Oktober 2007, Andrea membacakan Mimpi-mimpi Lintang bagian pertama dari buku ke-4 di Ubud Writers Festival. Kabarnya, Mimpi-mimpi Lintang adalah bagian pertama dari 2 buku Maryamah yang akan terbit. Entahlah, saya tak tahu pasti mana yang benar. Yang jelas pada saat peluncuran Maryamah Karpov di TV One, Andrea mengatakan bahwa buku tersebut adalah buku terakhirnya dari Tetralogi Laskar Pelangi dan setelah ini ia pengin rehat sejenak dari kepenulisan.

Begitu panjangnya waktu penundaan penerbitan Maryamah Karpov. Ditambah informasi yang simpang siur menimbulkan pertanyaan yang mengganggu saya: apakah ini juga bagian dari strategi pemasaran ataukah memang Andrea karena kesibukannya belum sempat menuntaskan buku keempatnya?

Setelah membaca Maryamah, saya berkesimpulan kedua bertanyaan itu ada benarnya juga. Strategi promosi tentu saja, wong sebelum terbit disain sampulnya toh sudah ditampilkan. Tapi, gara-gara cover yang sudah dipublikasikan habis-habisan itu, penerbit sepertinya juga dibikin kerepotan. Gadis pemain biola terpaksa ditambahi kerudung coklat di atas kepalanya, meski nyaris tak kentara. Lalu, judul Maryamah Karpov yang sudah kadung didengung-dengungkan itu, ternyata tak mewakili isi buku itu sendiri. Bahkan, kalau saya nggak salah hitung, Maryamah hanya disebut 2 kali dalam buku setebal 504 halaman itu, yaitu di hal 240 dan 274. Itupun cuma sekilas, sekedar pelengkap. "Di antara mereka tampak pula Mak Cik Maryamah yang seringkali mengajari orang langkah-langkah catur Karpov" (hal. 240) dan "Saban Rabu dan Sabtu sore, saat warung-warung kopi dipenuhi pengunjung, putri Mak Cik Maryamah Karpov itu berdiri di pojok pertigaan, menggesek biolanya" (hal. 274).

Cukupkah dua kalimat keterangan itu diangkat sebagai judul buku? Saya rasa kok berlebihan. Eh, bukan berlebihan. Mungkin karena sudah kadung dipromosikan, sehingga ketika Andrea mulai menulis dan menemukan angle lain yang lebih menarik, yaitu "Mimpi-mimpi Lintang", ia jadi kerepotan sendiri. Nggak mungkin jika harus mengubah buku ke-4 menjadi "Mimpi-mimpi Lintang" karena Mayamah Kaprov sudah terlanjur ditebar kemana-mana. Lagi pula, secara spelling, judul Maryamah Karpov terdengar lebih eksotis dan menjual. Saya juga suka itu.

Kemudian kita pun bisa menebak bahwa buku ke-4 ini memang baru dirampungkan Andrea belakangan, tak lama menjelang diluncurkan. Atau setidaknya setelah film Laskar Pelangi selesai diproduksi. Mengapa? Karena saya menemukan gaya bahasa yang Belitong banget, seperti logat yang kita dengan dalam film Laskar Pelangi. Di buku ke-4 ini Andrea begitu banyak mengumbar sapaan "Boi" yang biasa diucapkan anak-anak Laskar Pelangi di film bukan di novel. Cobalah simak ulang buku pertama Laskar Pelangi, rasa-rasanya kok miskin sapaan "Boi" atau mungkin malah nggak ada.

Dalam film, Miles memang harus menghadirkan logat Melayu Belitong itu, karena bahasa audio visual memang menuntutnya, meski dalam novel logat Melayu Belitong itu nyaris tak kentara. Di buku ke-4 rupaya Andrea belajar dari apa yang dilakukan Miles. Ia pun mencoba mendandani bukunya supaya lebih kental muatan lokalnya.

Barangkali buku ke-4 ini sebagian sudah ditulis sebelum penggarapan film. Saya menemukan gaya penulisan yang berbeda di buku ke-4 ini. Beberapa bab di awal, yang menceritakan sosok Ayah juara dunia yang dikaguminya serta hari-hari terakhir di Sorbone hingga ia tiba di kampung halamannya dengan ijasah Master, dituturkan dengan gaya bahasa yang penuh inspiratif seperti pada 3 buku sebelumnya. Selebihnya, saya nggak menemukan sesuatu yang inspiratif dari buku yang diklaim sebagai literary non fiction tersebut. Sebaliknya, kisah Ikal dan kawan-kawan Laskar Pelanginya yang sudah dewasa itu terkesan fiktif banget. Orang Jawa bilang "ngoyoworo", mengada-ngada, dan platonis, terutama jika dikaitkan dengan pencariannya akan A Ling.

Apakah seperti itu yang dimaksud Andrea bahwa buku terakhirnya berkisah tentang perempuan?